Lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Problem mendasar bagi mayoritas petani Indonesia adalah ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi tawar petani pada saat ini umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan pendapatan petani. Lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai.

Petani kesulitan menjual hasil panennya karena tidak punya jalur pemasaran sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini sebanyak 40 % dari hasil penjualan panenan menjadi milik tengkulak.

Peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi menjadi jaminan akan memberikan keuntungan layak bagi petani tanpa adanya kesetaraan pendapatan antara petani yang bergerak di sub sistem on farm dengan pelaku agribisnis di sub sektor hulu dan hilir.

Kesetaraan pendapatan hanya dapat dicapai dengan peningkatan posisi tawar petani. Hal ini dapat dilakukan jika petani tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi menghimpun kekuatan dalam suatu lembaga yang betul-betul mampu menyalurkan aspirasi mereka. Oleh karena itu penguatan petani harus lebih tertuju pada upaya membangun kelembagaan. Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi subjek dalam proses tersebut.

Peningkatan posisi tawar petani dapat meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh para petani dapat dihindarkan.

Upaya yang harus dilakukan petani untuk menaikkan posisi tawar petani adalah dengan :

1. Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.

2. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.

3. Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang tidak menguntungkan.


Kerjasama:
Aliansi Petani Indonesia (API)
dan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Malang

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 22 November 2010 0 komentar






Aliansi Petani Indonesia Jakarta,BULOG 21 Oktober 2010:
Kami organisasi petani tingkat nasional bernama Aliansi Petani Indonesia bekerja di wilayah 41 Kabupaten yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia. Fokus program dan kegiatan berupa pelayanan kepada kelompok-kelompok tani yang terorganisir baik laki-laki dan perempuan dalam bidang : (1). Memperjuangkan pembaruan agraria dan kedaulatan pangan, (2). Penguatan kapasitas anggota, (3). Penataan produksi dan akses pasar, (4). Penerapan teknologi tepat guna di pedesaan.

“Sebagai bangsa yang mengandalkan sebagian besar mata pencaharian penduduknya di sektor pertanian, tentunya menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak petani”. Data kemiskinan BPS tahun 2006 mencatat rakyat miskin di Indonesia berjumlah 39.10 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Sebanyak 24,76 juta (21%) penduduk miskin itu berada di daerah pedesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Data BPS 2007 menunjukkan bahwa 72 persen kelompok petani miskin dari subsektor pertanian pangan”.

Beberapa fakta yang terjadi pada petani di Indonesia, diantaranya:
 Harga Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) dan Beras dibawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) (tidak sesuai Inpres No 7 tahun 2009). Jika ada yang menjual di atas HPP secara umum dibeli melalui mekanisme swasta (beras harus berkualitas) bukan melalui BULOG. Dari 978 transaksi gabah di 18 provinsi selama Juli 2009 yang diobservasi oleh Badan Pusat Statistik ada 217 kasus harga gabah di bawah HPP (Kompas, 4 Agustus 2009)
 BULOG tidak secara langsung membeli Gabah ke petani. Bulog menggunakan mitranya untuk pengadaan Gabah atau beras sehingga harga di tingkat petani akan selalu dibawah HPP
 Kenaikan HPP mulai tahun 2001-2010 banyak menguntungkan spekulan (pedagang perantara, tengkulak). Di tingkat petani masih menggunakan sistem tebasan sehingga sangat merugikan petani. Pada sisi lain, ada kecendrungan kelangkaan beras dan naiknya harga beras di bulan November-Desember, disamping karena faktor penurunan produksi di musim II, tetapi dimungkinkan adanya kegiatan spekulan yang menyimpan beras untuk mengambil keuntungan pada saat kenaikan HPP di awal tahun (Januari). Situasi ini sering dijadikan alasan untuk Impor beras, mengingat harga beras di luar negeri seperti vietnam dan thailand jauh lebih murah.
 Pada saat ini, Bulog di samping menjalankan Publik Service Obligation (PS0), juga dituntut untuk berbisnis agar dapat menghasilkan keuntungan. Dengan PSO, Bulog dituntut seolah-olah harus menjadi lembaga sosial (non profit oriented). Di sisi lain sebagai perum, Bulog juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan (profit oriented). Dua peran yang bisa berseberangan ini bisa menimbulkan conflict of interest. Karena itu, seharusnya Bulog hanya menjalankan PSO dan konsekuensinya, pemerintah harus menyediakan dana yang cukup untuk mendukung peran PSO Bulog. Selama ini kemampuan bulog membeli gabah atau beras hanya 10% dari produksi nasional.
 Produktifitas dan kualitas yang berbeda antar musim (I,II dan III). Seharusnya ada perbedaan HPP tiap musim, sehingga membantu petani.
 Biaya Produksi di tingkat petani mahal. Petani harus membeli bibit unggul, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja yang semakin mahal.
 Cuaca ekstrim (perubahan iklim) berdampak berkurangnya produktifitas petani, ditambah dengan adanya berbagai penyakit yang tidak mampu ditangani sendiri oleh petani
 Minimnya infrastruktur pasca panen seperti penjemuran membuat kualitas gabah di tingkat petani menjadi rendah, apalagi di musim penghujan. Hal ini membuat daya tawar petani semakin rendah berhadapan dengan para pedagang.
 Minimnya penggilingan yang memiliki kualitas baik berdampak pada kualitas beras yang dihasilkan masih rendah, sehingga harga di tingkat petani semakin rendah.

Berdasarkan fakta diatas kami mendorong pemerintah untuk :
1. merubah kebijakan HPP kualitas tunggal menjadi HPP multikualitas yang terdiri dari kualitas rendah, sedang (medium) dan premium sehingga produksi petani tidak dipermainkan para spekulan
2. Memperkuat kapasitas Tunda Jual rumah tangga petani melalui lumbung atau koperasi untuk memutus sistem tebasan atau ijon yang sangat merugikan petani
3. Memperkuat peran Pemerintah Daerah dalam rangka menekan gejolak penurunan harga komoditas pertanian yang berpotensi merugikan petani
4. Menerapkan kebijakan non harga yang efektif melalui penerapan sistem pertanian organik dan penanganan pasca panen yang meliputi penjemuran, penyimpanan, dan perbaikan mutu penggilingan


Aliansi Petani Indonesia
Sekretariat : Jl. Slamet Riyadi IV/50 Kel. Kebun Manggis, Kec. Matraman, Jaktim
Telp / Fax : 021 8564164, email : api_bumie @yahoo.com

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Selasa, 02 November 2010 0 komentar


Pernyataan Sikap

”Draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman adalah Wujud Memanjakan Pengusaha Mendiskriminasikan Petani

Krisis pangan dunia dan masih banyaknya kasus kerawanan pangan serta kasus balita gizi buruk di Indonesia, seharusnya tidak malah menjadikan pangan sebagai komoditas dengan negara semakin memperluas kesempatan modal untuk mencari laba tertinggi dan akumulasi modal di pertanian pangan.

Krisis pangan seharusnya menjadi pelajaran bahwa telah terjadi penghancuran produktifitas petani, distribusi pangan yang tidak adil dan konsumsi pangan yang timpang. Oleh karenannya negara seharusnya lebih mengedapan pada pembelaan hak-hak petani dan pembaruan agraria serta didukung industri dan perdagangan yang mendukung pertanian, bukan malah sebaliknya, menyingkirkan petani dari pertanian dan mengedepan peranan dunia usaha, ini adalah praktek diskriminasi. Tindakan negara seperti ini bukanlah barang baru tetapi merupakan warisan dari masa Orde Baru yang dilegalkan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Pun demikian dengan Draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, di mana PP ini adalah turunan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Di dalam UU SBT, telah diatur beberapa hak-hak petani, peranan pemerintahan dan pengusahaan budidaya tanaman yang bisa diberikan izin kepada perorangan, BUMN/BUMD, badan hukum dan koperasi. Namun bukan realisasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani yang diatur, tapi justru realisasi pengaturan pengusahaan budidaya tanaman lewat PP dan diturunkan lagi lewat Permentan yang masih draft ini, di mana modal akan semakin berpotensi untuk melakukan ekspansi ke lahan-lahan petani dan peranan masyarakat hanya sampai pada sebatas saran. Dampaknya produsen pangan yang utama tidak lagi petani dan nelayan, melainkan korporasi. Tindakan ini sudah cukup untuk dikatakan sebagai bentuk diskriminasi terhadap petani.

Belum lagi bahwa dalam proses penyusunannya sama sekali tidak melibat ormas tani, pakar, dan ngo/lsm pembelaan dan pemberdayaan petani, padahal ada potensi melanggar hak-hak petani. Beberapa diantaranya adalah:
1. Pasal 3. Jenis usaha dalam produksi (diawali dengan penyiapan lahan) hingga pasca panen (diakhiri dengan pemasaran) berpotensi menimbul monopoli swasta atas produksi dan distribusi pertanian pangan:
2. Pasal 4. Pelaku usaha bisa melakukan budidaya tanaman pangan berpotensi menimbulkan sengketa dengan petani, petambak dan masyarakat adat;
3. Pasal 5. Tidak ditentukan prosentasi modal asing dan modal dalam negeri (BUMN/BUMD, swasta, dan koperasi atau bada usaha milik organisasi tani), berpotensi menimbulan dominasi modal asing meski memakai badan hukum Indonesia
4. Pasal 6 dan pasal 7. Menggunakan tenaga kerja lebih dari 10, berpotensi bahwa para petani menjadi buruh-tani di tanahnya sendiri, padahal statusnya sebagai subyek pembaruan agraria harusnya mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannya dengan pelaku usaha adalah bagi hasil;
5. Pasal 6, 7, 9: Pengunaan batasan kurang dari 25 ha, luas maksimum 10.000 ha, dan di Papua bisa lebih dari 10. 000 ha, berpotensi bertentangan dengan undang-undang yang mengatur penataan ruang, di antaranya UUPA 1960, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kawasan Ekonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan – yang masing-masing belum ada PP-nya serta UU otonomi khusus yang berlaku di Nangroe Aceh Darussalam, Papua, dan DIY
6. Pasal 11, 12, 18. Kemitraan justru akan menciptakan corporate farming di mana petani menjadi buruhnya dan menjadikan masyarakat adat hilang ruang hidupnya
7. Pasal 37. Harusnya masyarakat juga memiliki hak menolak dan hak mengguggat bukan hanya dimintai masukannya

Maka dengan ini kami menyatakan sikap:
1. Menolak draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman,
2. Menuntut perubahan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
3. Laksanakan pembaruan agraria dan keluarkan Undang-Undang Perlindungan Petani

Jakarta, 26 April 2010-04

Sikap Tani:
1. IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)
2. Bina Desa (Yayasan Bina Desa Sadajiwa)
3. KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan)
4. SPI (Serikat Petani Indonesia)
5. KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)
6. Petani Center
7. MAI (Masyarakat Agro Bisnis dan Agro Industri)
8. Pemuda HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia)
9. Masyarakat Mandiri
10. LP2NU (Lembaga Pemberdayaan Petanu Nahdlatul Ulama)
11. Pemuda Muhamadiyah
12. Petani Mandiri (Persatuan Petani dan Nelayan Mandiri Indonesia)
13. SMERU
14. API (Aliansi Petani Indonesia)
15. ADS (Aliansi Desa Sejahtera)
16. Kehati

Nb: Posko Pengaduan Pelanggaran Hak-hak Petani
Kantor IHCS
Jl. Mampansg Prapatan XV No, 8A Tegalparang Jakarta Selatan
Tel : 021 3259 2007
Tel/Fax: 021 7949 207
Email : ihcs@ihcs.or.id
Web: www.ihcs.or.id
Mobile : 0815 847 45 469 (Gunawan, Sekjend Komite Eksekutif IHCS)

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 23 Agustus 2010 0 komentar


PERNYATAAN SIKAP
PERSATUAN PETANI JAMBI




”Apabila didalam areal hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) terdapat lahan telah menjadi hak milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal hak pengusahaan HPHTI”
(pasal 4 Ayat 1 SK Menhut No. 744/Kpts-II/1996 tentang Konsesi PT WKS)

Bahwa Allah SWT memerintahkan pemerintah (ulil amri) untuk berbuat adil terhadap rakyatnya, Para pendiri bangsa (founding fathers) mengamanatkan agar pemerintah senantiasa mewujudkan keadilan sosial. Membiarkan rakyat sengsara merupakan kemungkaran dan pengkhianatan terhadap semangat kemerdekaan.

Konflik Agraria (pertanahan) antara petani dan PT WKS hingga kini belum terselesaikan. Keadilan yang ditunggu-tunggu lebih dari ratusan ribu keluarga petani di Jambi dalam memperjuangkan hak atas tanah belum juga direalisasikan. Seharusnya tanah yang sudah digarap oleh petani, tanah-tanah adat, dan lainnya yang menjadi hak petani tidak boleh dijadijan HPHTI ataupun HTR. Tanah-tanah tersebut harus di Enclave dan diberikan kepada petani. Tidak boleh ada penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan, apalagi dengan intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya.

Menanggapi kenyataan pahit tersebut kami petani dari lima Kabupaten yaitu : TANJABBAR, TANJABTIM, TEBO, MUARO JAMBI dan BATANG HARI, korban penggusuran PT WKS yang tergabung dalam wadah Persatuan Petani Jambi menyatakan sikap sebagai berikut :
1) Mendesak Pemerintah untuk mencabut semua Izin Konsesi PT WKS di Provinsi Jambi.
2) Mendesak Pemerintah untuk mengembalikan lahan petani yang telah digusur PT WKS
3) Mendesak Pemerintah untuk memberikan Ganti Rugi tanaman petani yang digusur PT WKS
4) Mendesak Pemerintah untuk melaksanakan proses hukum atas pelanggaran yang dilakukan PT WKS
5) Mendesak Pemerintah untuk mengakui dan melegalkan lahan-lahan yang sudah diduduki oleh petani (ENCLAVE).
6) Mendesak Pemerintah untuk mengembalikan tanah ulayat / tanah adat yang telah dirampas oleh PT WKS.
7) Menolak Kesepakatan 17 Maret 2008 karena kesepakatan itu sangat merugikan para petani.
8) Mendesak Pemerintah untuk melibatkan petani dalam setiap pengambilan kebijakan Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam / Agraria.
9) Apabila Pemerintah Provinsi Jambi tidak segera menyelesaikan permasalahan antara petani dengan PT WKS, maka petani akan menyelesaikan dengan cara petani sendiri.

JAMBI, 17 Maret 2010

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia 0 komentar

Subscribe here

Dokumentasi