Pernyataan Sikap

”Draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman adalah Wujud Memanjakan Pengusaha Mendiskriminasikan Petani

Krisis pangan dunia dan masih banyaknya kasus kerawanan pangan serta kasus balita gizi buruk di Indonesia, seharusnya tidak malah menjadikan pangan sebagai komoditas dengan negara semakin memperluas kesempatan modal untuk mencari laba tertinggi dan akumulasi modal di pertanian pangan.

Krisis pangan seharusnya menjadi pelajaran bahwa telah terjadi penghancuran produktifitas petani, distribusi pangan yang tidak adil dan konsumsi pangan yang timpang. Oleh karenannya negara seharusnya lebih mengedapan pada pembelaan hak-hak petani dan pembaruan agraria serta didukung industri dan perdagangan yang mendukung pertanian, bukan malah sebaliknya, menyingkirkan petani dari pertanian dan mengedepan peranan dunia usaha, ini adalah praktek diskriminasi. Tindakan negara seperti ini bukanlah barang baru tetapi merupakan warisan dari masa Orde Baru yang dilegalkan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Pun demikian dengan Draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, di mana PP ini adalah turunan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Di dalam UU SBT, telah diatur beberapa hak-hak petani, peranan pemerintahan dan pengusahaan budidaya tanaman yang bisa diberikan izin kepada perorangan, BUMN/BUMD, badan hukum dan koperasi. Namun bukan realisasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani yang diatur, tapi justru realisasi pengaturan pengusahaan budidaya tanaman lewat PP dan diturunkan lagi lewat Permentan yang masih draft ini, di mana modal akan semakin berpotensi untuk melakukan ekspansi ke lahan-lahan petani dan peranan masyarakat hanya sampai pada sebatas saran. Dampaknya produsen pangan yang utama tidak lagi petani dan nelayan, melainkan korporasi. Tindakan ini sudah cukup untuk dikatakan sebagai bentuk diskriminasi terhadap petani.

Belum lagi bahwa dalam proses penyusunannya sama sekali tidak melibat ormas tani, pakar, dan ngo/lsm pembelaan dan pemberdayaan petani, padahal ada potensi melanggar hak-hak petani. Beberapa diantaranya adalah:
1. Pasal 3. Jenis usaha dalam produksi (diawali dengan penyiapan lahan) hingga pasca panen (diakhiri dengan pemasaran) berpotensi menimbul monopoli swasta atas produksi dan distribusi pertanian pangan:
2. Pasal 4. Pelaku usaha bisa melakukan budidaya tanaman pangan berpotensi menimbulkan sengketa dengan petani, petambak dan masyarakat adat;
3. Pasal 5. Tidak ditentukan prosentasi modal asing dan modal dalam negeri (BUMN/BUMD, swasta, dan koperasi atau bada usaha milik organisasi tani), berpotensi menimbulan dominasi modal asing meski memakai badan hukum Indonesia
4. Pasal 6 dan pasal 7. Menggunakan tenaga kerja lebih dari 10, berpotensi bahwa para petani menjadi buruh-tani di tanahnya sendiri, padahal statusnya sebagai subyek pembaruan agraria harusnya mendapatkan hak atas landreform dan kemitraannya dengan pelaku usaha adalah bagi hasil;
5. Pasal 6, 7, 9: Pengunaan batasan kurang dari 25 ha, luas maksimum 10.000 ha, dan di Papua bisa lebih dari 10. 000 ha, berpotensi bertentangan dengan undang-undang yang mengatur penataan ruang, di antaranya UUPA 1960, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kawasan Ekonomi Khusus, dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan – yang masing-masing belum ada PP-nya serta UU otonomi khusus yang berlaku di Nangroe Aceh Darussalam, Papua, dan DIY
6. Pasal 11, 12, 18. Kemitraan justru akan menciptakan corporate farming di mana petani menjadi buruhnya dan menjadikan masyarakat adat hilang ruang hidupnya
7. Pasal 37. Harusnya masyarakat juga memiliki hak menolak dan hak mengguggat bukan hanya dimintai masukannya

Maka dengan ini kami menyatakan sikap:
1. Menolak draft Permentan tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman,
2. Menuntut perubahan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
3. Laksanakan pembaruan agraria dan keluarkan Undang-Undang Perlindungan Petani

Jakarta, 26 April 2010-04

Sikap Tani:
1. IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)
2. Bina Desa (Yayasan Bina Desa Sadajiwa)
3. KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan)
4. SPI (Serikat Petani Indonesia)
5. KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)
6. Petani Center
7. MAI (Masyarakat Agro Bisnis dan Agro Industri)
8. Pemuda HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia)
9. Masyarakat Mandiri
10. LP2NU (Lembaga Pemberdayaan Petanu Nahdlatul Ulama)
11. Pemuda Muhamadiyah
12. Petani Mandiri (Persatuan Petani dan Nelayan Mandiri Indonesia)
13. SMERU
14. API (Aliansi Petani Indonesia)
15. ADS (Aliansi Desa Sejahtera)
16. Kehati

Nb: Posko Pengaduan Pelanggaran Hak-hak Petani
Kantor IHCS
Jl. Mampansg Prapatan XV No, 8A Tegalparang Jakarta Selatan
Tel : 021 3259 2007
Tel/Fax: 021 7949 207
Email : ihcs@ihcs.or.id
Web: www.ihcs.or.id
Mobile : 0815 847 45 469 (Gunawan, Sekjend Komite Eksekutif IHCS)

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 23 Agustus 2010

Subscribe here

Dokumentasi